Showing posts with label Sebentuk alasan. Show all posts
Showing posts with label Sebentuk alasan. Show all posts

Friday, 4 March 2016

Untuk teman,

Hei, halo
Apa kabar? Hahaaha, ingat gak, dulu aku selalu bilang menanyakan kabar adalah hal basi yang paling basi. Tapi kali ini aku serius menanyakan kabar mu? Apa kabar, teman?. Dulu mana pernah ku tanyakan kabar mu, tiap hari kita ketemu. Sekarang jangankan bertemu, komunikasi saja kita sudah sangat jarang. Tidak, tidak ada yang sombong diantara kita, kau tak pernah sombong walau tak ada lagi menemuiku, pun aku takkan pernah berniat sombong padamu walau tak pernah lagi mencarimu.

Ingat dulu gak? Tiap ada aku pasti ada kamu, tiap hari begitu. Ketawa bersama, pergi makan bersama, belajar bersama, bosan bersama, ngerumpi, lasak, ngomentarin ini itu, nyanyi, gila-gilaan, kesal-kesalan, ketawa lagi, saling ngadu tentang segalanya, entahlah banyak lagi, yang buktiin kalau kita dulu selalu bersama-sama. Dulu selalu berpikir apa jadinya hari aku tanpa ada kamu, sekarang?

Sekarang kita tidak lagi melakukan semuanya bersama. Perlahan-lahan kita mulai sibuk dengan dunia kita sendiri, dunia kita tak lagi sama.  Jika dulu masalah kita adalah masalah bersama, sekarang kita punya maslah sendiri-sendiri yang tak bisa kita bagikan bersama lagi. Kita tetap tertawa, tapi tak tertawa bersama lagi. Sibuk dengan dunia yang lain membuat kita sibuk dengan yang lain juga.

Dulu, saat kita bersama aku selalu menghitung-hitung apa yang akan membuat kita tak akan bersama lagi? Hanya kematian mungkin, tak mungkin ada yang lain. Rasanya, kita akan menggapai cita-cita kita yang tak sama itu bersama-sama. Tapi nyatanya untuk menggapai cita kita punya jalan sendiri ternyata, jalan yang tak sama. Pilihan kita membuat kita tak bisa bersama lagi.

Teman, seberapa sibuknya kita dengan dunia kita, seberapa sulitnya kita untuk bertemu, seberapa jarangnya kita berkomunikasi karena sibuk dengan manusia yang baru, kau tetap selalu temanku. Bukan teman untuk masa yang lalu, teman tak pernah mengenal waktu, yang ada mungkin teman memang tak melulu selalu bersama selamanya. Kejarlah cita mu, jalani pilihan hidupmu, yang kini tak lagi ada hadirku, aku akan selalu menyayangimu, menyemangatimu, mendoakanmu, dan berusaha membanggakanmu. Apa yang kita lakukan dulu takkan pernah tergantikan oleh yang baru. Ku harap kita selalu bahagia dengan dunia baru kita, ku harap tak ada dari kita yang saling melupakan.

Aku akan selalu menunggu perjumpaan kita, yang jarang tapi selalu dinanti. Akhirnya kita bisa saling merindu, setelah bertahun bersama selalu.


Teman, adalah hal terbaik yang pernah kumiliki, selama hidupku selama masaku,

walau, tak mungkin selamanya, selalu berdekatan, selalu beriringan,

terhalang jarak dan waktu, untuk bicara, tertawa dan bercanda,

Tumpahkan kekesalan menangis saat ku putus cinta,

Aku mau teman selamanya –ten2five

Wednesday, 24 February 2016

Melawan ragu = Berani maju

Jika anda ragu, lebih baik kembali

Yang peka pasti tau ini kalimat 'siapa'. Udah dua kali kalimat ini nampar gue telak-banget. Pertama ya ketika berani-beraniin dengan matang buat menjadi 'siapa' itu dan kedua sekarang.

Pertama gue bertekad menjadi 'siapa' tersebut, dengan prasyarat yang, yaelah udah kadarluasalah istilahnya, banyak orang kontra dengan yang gue lakukan tersebut, termasuk gue, walau gak sepenuhnya gue kontra, masih ada sisi lain diri gue yang pro. Dua sisi itu akhirnya menghaislkan keraguan, padahal udah jelas diperingatkan kalau ragu lebih baik mundur. Walau pada akhirnya gue mundur juga, tapi bukan karena rasa keraguan itu, mgukur diri dengan bayang-bayang alias kegiatan gue yang gak memungkinkan buat meneruskan menjadi 'siapa' itu akhirnya gue mundur. Mundur karena mengikuti kegiatan yang akhirnya menghasilkan keraguan yang kedua.

Jika ragu, lebih baik mundur

Ini kalimat datang lagi, gue ragu lagi dengan pilihan gue. Ah, banyakan ragu ni. Kalau kemaren gue berani-beraniin buat menjadi 'siapa' itu, sekarang gue bertanya berani-beraninya gue buat ikut ini kegiatan. 

Ragu-ragu lagi. 

Kalau ragu kapan maju?

Gue ikuti aja dulu ini kegiatan, pengen tau sampai mana ragu-ragu itu ngalahin gue. Dan Alhamdulillah sekrang gue berhasil ngalahin itu 'ragu-ragu'. Sekarang dengan hati yang mantap dan jiwa yang berani tanpa tanya gue siap buat segala konsekuensi yang bakal gue dapat. 

Manusia yang meragu untuk kebaikan takkan pernah maju.

Gak nyambung sih ini kutipan yang gue dapat pas searching buat kegiatan gue, tapi kalimat ini bener yang menghapus tuntas keraguan gue itu, serius.

"Berani untuk hutan bukan hanya sekedar slogan gagah-gagahan"


Saturday, 13 February 2016

Dalam masalah

Pernah sewaktu waktu teman saya yang dalam masalah saya nasehati, kira-kira begini:

“Sebenarnya masalah kamu itu masalah kecil saja, kenapa kamu begitu sedih dan sekecewa itu? Pun kamu masih punya banyak orang yang mensupport kamu, dan kamu masih punya banyak cara sebenarnya untuk mengatasi masalah kamu itu.
Kita ini kalau adalam masalah sering kali menganggap masalah kita itu besar sekali, padahal hanya masalah kecil saja sebenarnya, orang lain bahkan punya masalah yang sangat besar dari kita”.

Teman saya itu bukanlah orang bodoh, dia hanya sedang terlarut dalam masalah kecill nya itu, saat saya nasehati tadi, ia menjawab

“Iya, tau ana (anggap saja dia memanggil namanya ana) tapi kalau lagi masalah kaya gini, gak peduli ana do dengan masalah orang lain yang mungkin lebih besar, kalau ada orang yang masalahnya cerai yaudah, cerai aja, terus cari aja lagi yang baru. Susah kali. ”

Itu jawaban teman saya, yang pasti mengejutkan saya. Saya yakin dia sedang tidak serius dengan responnya tersebut, paling itu statemen emosinya saja. Tapi lihatlah begitu hilangnya jadi diri seseorang jika sedang emosi dengan masalahnya. Emosi marah, sedih yang berlarut-larut atau tepatnya dibuat-buat oleh hati dan pikirannya.

Tapi apa yang dikatakan teman saya tadi kurang lebih betul adanya. Disaat saya menasehati dia dengan nasehat di atas saya sedang tidak dalam masalah, atau setidaknya tidak ingat punya masalah. Tapi ketika saya sedang dalam masalah, masalah ringan saja, saya pun menjawab kurang lebih seperti apa yang dikatakn teman saya itu.

Masalah proposal. Seolah saya saja yang mahasiswa yang punya masalah dengan proposalnya. Padahal banyak lagi mahasiswa yang bahkan lebih parah masalahnya, misal; pasti ada seorang mahasiswa tingkat akhir yang menunggu DO jika proposalnya tidak diterima. Tapi respon saya saat itu malah

“Ah, itu salah dia ngapa gak dari awal ngerjain, ngapa dia lalai!”

Padahal dalam akal sehat saya, bisa saja saya berpikir bahwa mahasiswa yang dalam keadaan seperti itu bisa saja dia membereskan masalah genting lainnya dulu, mencari nafkah untuk keluarga misalnya, hingga lalai tugasnya sebagai mahasiswa hingga dia terjerat masalah.

Betapa bahayanya orang yang dalam masalah. Yang ia fokuskan hanya masalahnya saja. Egoisnya dominan sekali jadinya. Lalu apa yang bisa diperbuat jika seperti itu?

Mengingat dan diingatkan.

Mengingat kita punya Tuhan, Allah SWT, tempat mengadu dan meminta pertolongan.
Seperti dalam QS. An-Naml ayat 62, yang artinya:

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”

Mengingat bahwa masalah yang sedang kita hadapai itu, jika dihitung-hitung belum ada apa-apanya lagi dengan apa yang kita punya. Masalah proposal, betapa sepelenya bukan? Padahal masih banyak orang yang tidak punya kesempatan melanjutkan peguruaan tinggi. Yang tidak bersekolah saja masih banyak.

Dan Diingatkan

Orang yang terlaru larut dalam masalahnya sulit menggunakan akal dan hatinya. Menjadi manusia egois yang sering larut dengan masalahnya sendiri. Disini, berterimakasihlah kepada orang yang mengingatkan kamu, entah mengingatkan betapa ‘bodohnya’ kamu berlarut dalam masalah tersebut, mengingatkan kamu bahwa mereka ada untuk menolong kamu dalam masalah mu dan mengingatkan kamu bahwa masalah itu bisa dilalui, seperti hujan yang pasti reda atau badai pasti berlalu. Yang mengingatkan bisa saja bukan orang. Melainkan benda, entah itu rangkaian kata dalam nada yang tak sengaja didengar, atau aktivitas manusia lain yang ‘menampar’ mu, maka dari itu jika dalam masalah, janganlah-hindarilah berdiam pada suatu tempat, menyendiri. Pergilah keluar, dan lihat betapa kecilnya masalah kita atau banyaknya solusi untuk masalah yang sedang kita hadapi.

Seperti kemaren.
Saya dan teman saya tersebut keluar rumah mencari pisang coklat keju yang hangat di pinggir jalan yang ramai. Sambil ia membaca buku La Tahzan yang menamparnya untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, karena setan suka manusia yang tenggelam dalam kesedihannya.


written: 01022016


Tuesday, 10 November 2015

Surat Cita

Selamat pagi Ibu. Saya tidak tau ketika Ibu membacanya saat siang atau sore, tapi selamat pagi punya magis –memberi semangat. Semoga selamat pagi ini memberikan Ibu semangat, semangat menjadi Ibu negara, tak peduli walau sebentar lagi Pak SBY harus menajdi mantan presiden. Ibu tenang saja, katanya tak akan pernah ada yang namanya mantan Ibu, Ibu akan tetap menjadi Ibu negara, Ibu dari bangsa ini beserta Ibu-Ibu lainnya, dan sebentar lagi saya akan menyusul Ibu menjadi Ibu negara ini. Menjadi Ibu negara tak harus mempunyai seorang suami presiden kan Bu? Seorang wanita yang merawat negara ini, peduli, mengurusi dan bertindak untuk negara ini ia juga pantas dipanggil Ibu negara kan Bu?
Ibu, doakan saya untuk menjadi Ibu negara yang baik untuk negara ini. Katanya doa dari Ibu adalah doa yang pasti dikabulkan Allah. Walau bukan Ibu kandung, Ibu tetap Ibu sayakan? Ibu dari jutaan anak negara ini. Ibu, doakan saya suatu hari nanti ketika saya menjadi Ibu negara saya akan menjadi Ibu yang super bagi anak bangsa ini. Ibu yang akan peduli pada semua anak bangsa ini, tak peduli dia dari kalangan mana. Saya ingin mendongengkan mereka Bu, seperti Ibu kandung yang mendongengkan anaknya. Mungkin itu hal sepele, tapi entah kenapa sekarang hal semacam itu sudah mulai ditinggalkan Bu, ya sama seperti budaya menulis dan membaca. Saya juga ingin menanamkan kembali budaya menulis dan membaca pada mereka, supaya mereka mengenal dunia, supaya mereka mengenal diri mereka, supaya mereka dikenal dunia.

Doakan aku Bu, supaya suatu hari nanti aku aku bisa menggapai citaku menjadi Walikota Pekanbaru. Tapi aku akan tetap menjadi Ibu negara, bukan Ibu Kota kan Bu?  Doakan aku Bu, saat aku menjadi Walikota aku mampu mensejahterahkan kota kecil ku ini. Menjadi adil, juga sekaligus menjadi Ibu dari anak-anak kota ini, membesarkan mereka, memberikan mereka kehidupan yang bahagia, kesehatan yang ‘murah’, fasilitas belajar yang memadai, perpusatakaan, taman, suasan kota yang aman, nyaman, bebas asap. Oya Bu, aku juga ingin memperbaiki transportasi umum kotaku ini, aku ingin masyarakat lebih suka naik transportasi umum, supaya mereka berinteraksi, tidak individualis selain itu bisa mengurangi macet dan polusi. Sekarang dikotaku cuma ada Trans Metro, kalau Ibu berkunjung ke kotaku aku akan mentraktir Ibu naik Trans Metro ke Pustaka Wilayah, itu tempat favoritku Bu.

Ibu, aku suka melihat Instagram Ibu, Ibu suka bunga ya? Bunga favoritku bunga Bugenvil. Bugenvil, walau tak diberi perhatian khusus ia tetap bisa memberikan keindahan dari bunga-bunganya yang warna-warni, ia tetap bisa berbunga walau orang tak terlalu memperhatikannya, tak meyiramnya. Aku ingin menjadi Ibu negara seperti bunga Bugenvil, ia akan tetap memberi manfaat bagi orang-orang, memberikan keindahan bagi orang-orang walau tak diperhatikan orang lain atau bahkan diabaikan. Aku ingin seperti Bugenvil Bu, aku ingin menjadi Ibu negara yang tulus merawat negara ini,  membesarkannya dan menjadikan negara ini negara yang dibanggakan, negara yang hebat.

Doakan aku Bu, doakan aku bisa membantu Ibu menjadi Ibu negara, merawat negara ini.

Salam,
Ospa
Calon Ibu negara & Walikota Pekanbaru

Thursday, 5 November 2015

Apa itu unlimited blue?

Harusnya ini udah diposting lama, Cuma ya karena kemaren bahas tentang “boleh gak akad nikah dulu, resepsinya nanti aja?” kaya 3 bulan lagi gitu? Dan ternyata boleh-boleh aja, bahkan setahun kemudian juga boleh. Yaa.. walaupun penghulu teman gue bilang “UDAH BASI! kalau gitu”, tapi.. ah pokoknya gak papa kok menurut teman-teman gue yang sedang bercerita tentang pernikahan. Eh tapi ini sama sekali bukan tentang pernikahan dan gue sama sekali bukan sedang merencanakan pernikahan. Karena.... gue.. masih single. Bukan jomblo. Masih belajar. Dia juga. Entah belajar apa. Ehem. *skip*

Ini tentang perubahan blog gue. Yang belum gue jelaskan, entah kepada siapa. Sebenarnya udah malas bahasnya, udah kelamaan banget kayanya kalau mau bahas. Tapi resepsi aja boleh  sampai setahun lagi, kenapa bahas perubahan blog aja gak boleh terlambat. Better late than never. Itu sebenarnya motto gue kalau lagi gak sanggup ikut UTS, lebih baik ikut ujian susulan dan sudah ‘siap’ daripada tidak ikut sama sekali.

Jadi, pertama tampilan blog gue udah berubah. Dari awalnya ‘menurut gue’ bersifat little vintage dan sedikit girly –liat aja background dan headernya– jadi simple aja, gak terlalu banyak macam lagi. Kedua namanya juga udah ganti dari yang tadinya Olala.. Ospa! Yang artinya kurang jelas gitu, jadi lebih serius(?) unlimited blue.

Kenapa unlimited blue? Karena langit. Teman gue juga bilang, apa yang terlintas pas denger unlimited blue? Jawabannya ya langit. Seringnya blog ini sebenarnya gue jadikan tempat curhat gak jelas, atau tempat pengaduan atau apalah namanya, kadang itu sering gue lakukan dengan.. em.. langit. Jadilah, gue menginterpretasikan langit kedalam nama blog ini. Tapi langitkan gak selalu berwarna biru? Yak. Langit gak selalu bewarna biru. Tapi warna favorit gue memang biru. Dan biru mempunyai banyak makna. Dan jadilah, sesuatu yang tak terbatas dan mempunyai banyak makna. Itu maksud gue. Gue pengen punya alur hidup, punya cerita, pengalaman yang tak terbatas –dihidup gue yang terbatas ini– dan  mempunyai banyak makna. Gue sadar sebenarnya semuanya punya batas, itulah kenapa bacaan unlimitednya di header gue kurung, sebagai pengingat semuanya sebenarnya ada batasnya. Bingung? Jangan, anggap aja itu bagian dari sifat kontradiktif gue.

Sebenarnya ini hampir sama dengan makna mybluebanana walau dari sisi yang berbeda. Intinya gue mau sesuatu yang mustahil menjadi gak mustahil lagi dan mempunya banyak makna. Gue gak mau punya batas ditengah keterbatasan. Gak ada yang mustahil, walau sebagai Hamba Tuhan gue tau manusia itu punya batas, Tapi hei! Gue punya Tuhan yang gak ada yang mustahil bagi-Nya.  Itu juga alasan kenapa gue gak mau ganti alamat blog gue dari mybluebanana.blogspot.com jadi semisal unlimitedblue.blogspot.com–belum ada yang punya loh! – karena yaa artinya sama juga, toh capek juga keles gonta-ganti alamat, sayaaaang amat.

Headernya juga ada foto guenya tuh, eheheheek. Gue suka banget sama foto gue yang ntu. Eh, eh bukan karena gak nampak mukanya ya jadi fotonya bagus  yaa -___-). Foto itu diambil digedung favorit gue, itu sejenis diruangan rahasia gue, hahaha, karena emang jarang orang ke ruangan itu. Nah, pemandangannya itu kota Pekanbaru, keren looooh, heheehe. Itu juga ada kerangkeng besi, jadi pas kan, gue lagi memandang hal tak terbatas –langit & pemandangan kota Pekanbaru– tapi gue sebenarnya terbatas, alias dikurung dengan itu besi, alias kaca. Begituh. Ngerti gak? Ya, gak salah lu kalau gak ngerti sih. tapi coba aja baca atau pahami dengan baik ya, hahahaa.

Tuesday, 3 March 2015

Nyesal masuk SMK?

Baru terasa ditahun ketiga lulus dari SMK. Eng, gak tau sih sebenarnya nyesal atau gak, yang tau rasanya sedikit nyesek, hiks. Ini gegara baca bukunya John Maxwell, Soe Hok-Gie. Padahal dalam buku itu gak ada sama sekali bahas sistem pendidikan loh, cuma dalam buku itu ya pasti membahas Sejarah. Dan gue sangat begitu teramat suka membahas pelajaran Sosial, semacam sejarah. Dulu sewaktu SMP gue semacam apa ya, pernah menjadi ‘murid kesayangan’ guru IPS gue dan menjadi murid –mungkin semacam– ‘murid kebencian’ guru Matematika gue, hahaaha. Karena gue emang cinta mati sama pelajaran IPS –tidak termasuk Ekonomi, karena gue gak pernah nganggap Ekonomi adalah bagian dari IPS. Gue ingat gimana gue dapat banyak cap –jadi tiap bisa menjawab pertanyaan dapat cap dari sang guru. Gue ingat betapa gak sabarannya gue melahap buku IPS gue. Gue suka menggebu kalau baca buku Sejarah walau sering lupa tanggal kejadiannya, buku Geografi, menghapal batas lintang negara, Sosiologi –bahkan dipelajaran ini guru gue pernah belain gue saat si doi ngejek gue, yakin gue dia iri karena gurunya lebih sayang gue, muhehehe. Sewaktu SMP gue yakin banget bakal lanjut ke SMA, bahkan teman sebangku gue yang waktu itu mau lanjut ke SMK Teknik gue hasut terus supaya masuk SMA. Bahkan gue hinalah SMK itu, semacam SMK itu sempit,  cuma bahas A kita gak bisa tau B C Y Z dsb. Dan yang terjadi adalah.. sebaliknya. Teman gue masuk SMA dan gue SMK.

Kenapa bisa masuk SMK?

Sewaktu itu pilihan sekolah sepenuhnya diserahkan ke gue, asalkan sekolahnya adalah sekolah baik & bermutu, orang tua setuju. Sewaktu itu gue daftar sama teman-teman gue, gue temenin dia ke sekolah A, dia temanin gue daftar kesekolah B. Sekolah B yang menjadi incaran gue ini emang udah sekolah yang gue incar semenjak SMP. Namun ada beberapa isu yang menyulitkan masuk kesana, gue anak SMP mudah amat kemakan isu. Karena takut dan kepengen aman, gue ikutilah teman gue ke sekolah A yang mereka daftarkan. Singkat cerita pas tes, teman-teman gue gak lulus masuk di sekolah yang mereka pengen tapi gue Cuma coba-coba anehnya lulus, teman gue yang daftar disana gak ada yang lulus. Pahit.


Wednesday, 9 April 2014

Menulis(lah)

Menulis, sebuah kebutuhan (harusnya). Menulis, itu semacam obat penenang yang gak punya sisi negatifnya, semuanya positif. Entahlah dengan orang lain, bagi gue seperti itulah pandangan gue tentang menulis. Menulis, gak perlu menunggu punya topik atau mencari kata keren yang tepat dahulu, ambil saja pena mu atau apapun medianya, goreskan kata yang memang ingin kamu katakan, apa yang ada dalam pikiranmu, apa yang kamu dengar, yang kamu rasakan. Biarkan dia mengalir. Dan, boom! Semuanya lepas, gue terbang, dengan tulisan gue yang -entah-apa-aja- random banget!

Menulis, toh gak harus serius, gak harus menunggu merangkai kata yang sempurna. Menulis, gak harus punya orang lain buat jadi punya pembaca setia yang budiman. Jika kamu menulis, toh kamu jadi pembaca yang baik buat tulisanmu sendiri. Bukankah itu hal yang menakjubkan, kamu membaca diri kamu sendiri, jadikan itu kebiasaan, jadikan itu kebutuhan dan woalaa! Kamu mengenal diri kamu sendiri. Menulis, kamu bisa mengalirkan gairahmu, emosimu, kedalam-nya. Dan ketika kamu membacanya, kamu seperti sedang membaca mantra, mantra ajaib, mantra menakjubkan, mantra kamu.
Menulis, itu pilihan ter-baik, ketika kamu tidak sanggup lagi mengucapkannya atau tidak sanggup lagi memendamnya.  Tuliskan saja! Jika kamu sedang ah, pening sekali dengan sesuatu/seseorang, tuliskan saja apa yang kamu rasakan, berasumsi saja dia akan membacanya, saya yakin kamu akan lebih lega daripada sekedar ingin mengatakan tapi tak berani, ingin memendam tapi tak sanggup lagi. Tuliskan saja, bukankah saya sudah katakan diawal, menulis itu seperti obat penenang.



Menulis itu investasi yang paling baik, menurut gue. Investasi untuk mengenal diri kita sendiri. Satu persatu tulisan yang kita tulis, waktu demi waktu, akan mengumpulkan siapa kita sendiri. Tulisan itu bisa menjadi acuan ukur bagaimananya kita dulu dan bagaimana perubahan kita-nya sekarang. Menulis itu investasi yang bersifat priceless untuk diri kita. Mengenal diri sendiri, apalagi di umur yang rentan sedang mencari jati diri ini, bukankah susah sekali menyebut nominal untuk mengetahui sebuah jati diri? Dan orang lain belum tentu bisa mengenal kita sebaik tulisan kita sendiri.



 Lihat, tulisan gue masih -gak-oke-banget-kan? Tapi oke, gue masih mencari jati diri, nanti gue bakal baca tulisan ini —berulang-ulang kali— sama seperti tulisan gue yang lainnya, nostalgia dengan tulisan-tulisan gue itu, belajar dari tulisan gue, dan membentuk jati diri yang mapan untuk jati diri gue di masa depan. Menulislah, karena itu sama pentingnya dengan membaca buku dari penulis terkenal. Toh penulis itu, gue yakin melewati fase menulis untuk diri sendiri dulu. Lalu membiasakannya, dan mejadikan tulisan mereka menjadi pendapatan bagi mereka. Menulis, merupakan bagian ekonomi kreatif, dimana input dan outputnya merupakan gagasan.



                Dengan membaca kamu bisa mengenal dunia, dan dengan menulis kamu bisa mengenal kamu! Atau bahkan.. dunia bisa mengenal kamu

Thursday, 27 February 2014

Dari hal menonaktifkan - Target yang terumbarkan

Tes.. Haloh sodara" Apa kabar? Masih rapopo aja? Jadi masih rapopo aja  sebagai jomblo?  

Oke, kali ini saya tidak akan menghina jomblo lagi  –Hanya dipostingan ini saja– Jadi minggu lalu gue habis nonaktifkan facebook gue (yg kayanya bakal segera diaktifkan kembali-..-) dan tidak menggunakan twitter gue, dan jejaring sosial lainnya. Ya alasannya....  gue mau fokus sama studi gue. Hahhaa, temen gue ada yang marah-marah atau bilang “sok kau pa!” atau “pasti ada alasan lain kan?, pasti kau gak tahan gak stalking dia kan?” atau “biasanyakan juga jarang online pa” dan bahasa lain sejenisnya

Dulu juga gue pernah begini, waktu pas mau UN-anlah, -gak akan berjejaring sosial ria- tapi teman gue gak ada yang percaya gue bisa.. dan malah ada yang ngajak gue taruhan -..- dan ya, akhirnya gue gak bisa, Muahahaha. Tapi kali ini gue mau serius beneran, fokus sama studi gue, sama kuliah gue, sama pacar, sama organisasi. Ya salah satu teman kamfret gue itu emang bener, pasti ada alasan lainkan? Tapi.. alasannya terlalu ribet kalau gue curahkan dalam tulisan ini, dalam kata-kata 

Sebenarnya semuanya ini juga susah gue tuliskan, tapi gue gak nahan mendamnya udah cerita sama teman gue tapi rasanya belum puas, mau cerita sama kucing gue.. dia belum pulang-pulang juga, mau cerita sama langit.. yang terlihat hanya kabut #PrayForRiau #KarenaRiauBagianDariIndonesia #SayangilahRiau #IniBukanSalahRiau #RiauGakJomblo #RiauPacarGue #GueBukanSeorangJomblo #$%$#^&## *Hesteg kebanyakan* *maaf bawa-bawa jomblo* #BackToTheTopic 

Sunday, 15 December 2013

Toh Ternyata Matematika Itu Bakat!

                Kali ini gue bakal bahas hal yang mengherankan bagi gue atau hal yang gak gue ngertiin, dimulai pada saat dosen statistik gue atau dosen matematika (entahlah sama aja toh statistik adalah matematika) membacakan hasil UTS kami, dimana yang ujiannya yang benar diatas 3 disebut dan dibawah 3 tidak disebut dan nama gue tidak di sebut. Bukan, bukan karena nama gue yang tidak disebut yang gue herankan, yang gue herankan adalah masukan-masukan dari bapak dosen atau nasehat atau apalah dari perkataan beliau yang panjang dikarenakan kesal atau kecewa karena lumyan banyak mahasiswanya yang gagal dalam ujian, di nasehatnya yang membahana ada satu hal yang membuat gue apaya, tercengang! beliau mengatakan ‘memang sebenarnya matematika itu bakat’. Nah! Lihatkan, dengar, baca! MATEMATIKA ITU ADALAH BAKAT! Terus, terus, ngapa juga gue belajar matematika, kalau matematika itu bakat, gue udah pasti gak punya bakat matematika. Lalu kenapa sepertinya sistem dunia ini memaksa gue belajar matematika, yang malah membuat gue menghabiskan waktu hanya untuk mempelajari dan mengerti sesuatu yang sama sekali bukan bakat gue. Kenapa sepertinya sistem tidak membiarkan saja orang-orang menghabiskan waktunya untuk menekuni bakat mereka sendiri.

Thursday, 17 October 2013

Bersyukur - Mudah tapi Sulit

                Bersyukur, mudah banget di ucapin tapi susah banget buat di terapin ke kehidupan. Terkadang kita udah punya ini itu lihat orang lain atau teman yang punya sedikit lebih dari kita buat kita lupa akan banyak hal yang kita punya, sifat iri. Pernah gak lihat sepatu teman keren banget diyakinin bermerk dan pasti mahal banget, mungkin berlembar-lembar uang ratusan ribu lebih harganya, buat kita lupa kita juga punya sepatu walau tak sebagus amat. Diluar sana bahkan banyak yang gak punya sekedar alas kaki sederhana seperti sandal jepit, atau bahkan gak punya kaki buat dipasingin sebuah sepatu.

                Bersyukur, terkadang kita tersadar tetapi mudah sekali melupakan rasa syukur itu kembali. Banyak hal yang bisa membuat kita tersadar kembali, tapi kita malah sibuk fokus pada hal yang membuat rasa itu jauh dari kita. Membandingkan punya orang yang lebih baik, entah itu pakaian orang lain, kendaraan orang, rumah atau gadget orang lain yang sering terlihat dengan mudah saat ini. Padahal diluar sana, tak usah jauh melihat pasti ada disekitar kita yang apa yang dia punya lebih sedikit dari yang kita punya. Kita saja yang tak mau melihatnya, ya bagaimana sempat kita melihat mereka karena kita sibuk melihat orang yang lebih dari kita saja.

                Kalaulah merasa tak ada yang di bawah kita, merasa kita paling kurang dalam segalanya disekitar kita, Apakah dunia yang kau dilihat sebegitu kecilnya? Padahal sedikit saja, sebentar saja kau mencoba melihat kebawah, masih banyak jutaan manusia yang kehausan tak ada air, bahkan air kotor sekalipun, kelaparan karena tak ada yang bisa dimakan, walau sekedar bangkai atau makanan basi, mati kedinginan karena tak ada atap atau kayu lapuk yang menghangatkan. Tidur beralas tanah dingin atau aspal dan semen dingin jalanan berselimut langit gelap yang telah tak mempunyai bintang lagi.

                Banyak hal yang bisa kita syukuri, air yang kita buang-buang dengan borosnya, makanan yang kita perlakukan bak sampah, kendaraan yang kita gunakan, yang membuat kita tak perlu berjalan,  gadget ya walau hanya bisa untuk berkomunikasi secara sederhana, berkirim pesan singkat dan menelpon atau ditelpon, pendidikan yang kita acuhkan, kita pandang sangat remeh karena bukan tempat yang kita inginkan, atau karena melihat teman yang mempunyai tempat pendidikan yang lebih WAH.