Pernah sewaktu waktu teman saya yang dalam masalah saya nasehati,
kira-kira begini:
“Sebenarnya masalah
kamu itu masalah kecil saja, kenapa kamu begitu sedih dan sekecewa itu? Pun
kamu masih punya banyak orang yang mensupport kamu, dan kamu masih punya banyak
cara sebenarnya untuk mengatasi masalah kamu itu.
Kita ini kalau adalam
masalah sering kali menganggap masalah kita itu besar sekali, padahal hanya
masalah kecil saja sebenarnya, orang lain bahkan punya masalah yang sangat
besar dari kita”.
Teman saya itu bukanlah orang bodoh, dia hanya sedang terlarut dalam
masalah kecill nya itu, saat saya nasehati tadi, ia menjawab
“Iya, tau ana (anggap saja dia memanggil namanya ana) tapi
kalau lagi masalah kaya gini, gak peduli ana do dengan masalah orang lain yang
mungkin lebih besar, kalau ada orang yang masalahnya cerai yaudah, cerai aja,
terus cari aja lagi yang baru. Susah kali. ”
Itu jawaban teman saya, yang pasti mengejutkan saya. Saya yakin dia
sedang tidak serius dengan responnya tersebut, paling itu statemen emosinya
saja. Tapi lihatlah begitu hilangnya jadi diri seseorang jika sedang emosi
dengan masalahnya. Emosi marah, sedih yang berlarut-larut atau tepatnya
dibuat-buat oleh hati dan pikirannya.
Tapi apa yang dikatakan teman saya tadi kurang lebih betul adanya.
Disaat saya menasehati dia dengan nasehat di atas saya sedang tidak dalam
masalah, atau setidaknya tidak ingat punya masalah. Tapi ketika saya sedang
dalam masalah, masalah ringan saja, saya pun menjawab kurang lebih seperti apa
yang dikatakn teman saya itu.
Masalah proposal. Seolah saya saja yang mahasiswa yang punya masalah
dengan proposalnya. Padahal banyak lagi mahasiswa yang bahkan lebih parah
masalahnya, misal; pasti ada seorang mahasiswa tingkat akhir yang menunggu DO
jika proposalnya tidak diterima. Tapi respon saya saat itu malah
“Ah, itu salah dia
ngapa gak dari awal ngerjain, ngapa dia lalai!”
Padahal dalam akal sehat saya, bisa saja saya berpikir bahwa mahasiswa
yang dalam keadaan seperti itu bisa saja dia membereskan masalah genting
lainnya dulu, mencari nafkah untuk keluarga misalnya, hingga lalai tugasnya
sebagai mahasiswa hingga dia terjerat masalah.
Betapa bahayanya orang yang dalam masalah. Yang ia fokuskan hanya
masalahnya saja. Egoisnya dominan sekali jadinya. Lalu apa yang bisa diperbuat
jika seperti itu?
Mengingat dan diingatkan.
Mengingat kita punya Tuhan, Allah SWT, tempat mengadu dan meminta
pertolongan.
Seperti dalam QS. An-Naml ayat 62, yang artinya:
“Atau
siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa
kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia)
sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat
sedikitlah kamu mengingati(Nya)”
Mengingat bahwa masalah yang sedang kita hadapai itu, jika
dihitung-hitung belum ada apa-apanya lagi dengan apa yang kita punya. Masalah
proposal, betapa sepelenya bukan? Padahal masih banyak orang yang tidak punya
kesempatan melanjutkan peguruaan tinggi. Yang tidak bersekolah saja masih
banyak.
Dan Diingatkan
Orang yang terlaru larut dalam masalahnya sulit menggunakan akal dan
hatinya. Menjadi manusia egois yang sering larut dengan masalahnya sendiri.
Disini, berterimakasihlah kepada orang yang mengingatkan kamu, entah
mengingatkan betapa ‘bodohnya’ kamu berlarut dalam masalah tersebut,
mengingatkan kamu bahwa mereka ada untuk menolong kamu dalam masalah mu dan
mengingatkan kamu bahwa masalah itu bisa dilalui, seperti hujan yang pasti reda atau badai
pasti berlalu. Yang mengingatkan bisa saja bukan orang. Melainkan benda,
entah itu rangkaian kata dalam nada yang tak sengaja didengar, atau aktivitas
manusia lain yang ‘menampar’ mu, maka dari itu jika dalam masalah, janganlah-hindarilah berdiam pada suatu tempat,
menyendiri. Pergilah keluar, dan lihat betapa kecilnya masalah kita atau
banyaknya solusi untuk masalah yang sedang kita hadapi.
Seperti kemaren.
Saya dan teman saya tersebut keluar rumah mencari pisang coklat keju
yang hangat di pinggir jalan yang ramai. Sambil ia membaca buku La Tahzan yang menamparnya untuk tidak
berlarut-larut dalam kesedihan, karena setan suka manusia yang tenggelam dalam
kesedihannya.
written: 01022016