Showing posts with label Ngaco serius. Show all posts
Showing posts with label Ngaco serius. Show all posts

Friday, 18 November 2016

Not sure, but 'utarakan'

Halo, sudah lama tidak menulis. Halaaah, kaya dulu sering aja nulis. -__-
Sebenarnya saya sudah tidak mau lagi menulis, apalagi nulis curhatan diblog. Rada malu, rada gengsi dan sudah muak. Efek terlalu mendalami dan berujung gagal paham pada cerpennya sga kali, sepotong senja untuk pacarku. Tetapi kehidupan saya, yang saya gagal pahami  belakangan ini pun yang akhirnya membuat saya curhat lagi. Sedikit inti: gagal paham itu baik juga, gagal bersembunyi yang tidak, sepertinya.

Saya akhirnya ‘mungkin’ memaafkan diri saya, diri saya yang akhir-akhir ini. Yang pemalas, yang gak tau tujuan, yang bimbang perasaannya, yang banyak gak ngertinya, yang tidak teratur, tidak disiplin, tidak paham, tidak konsisten, tidak serius, tidak stabil, tidak adil, tidak baik, tidak untuk ditiru. Saya maafkan, mati-matian ngakuin ke diri sendiri bahwa kamu itu ternyata ‘tidak-tidak’ saja. Bukan hal mudah, memaafkan orang saja saya sulit, apalagi memafkan diri sendri.

Dan akhirnya beberapa waktu lalu saya putuskan untuk berubah. Mengubah aturan waktu, batasan sosialisasi, batasan ngomong, batasan bahan bacaan dan pengubah dan batasan lainnya yang saya tetapkan. Tak ada yang mudah dalam sebuah perubahan, apalagi perubahan karena kesalahan sendiri. Proses mau berubah pun harus saya jalani bersamaan dengan proses memaafkan diri yang sampai sekarang masih terasa sulit sekali.

Tapi saya masih muda, masih banyak melanggarnya, tapi saya sudah harus dewasa, sudah saatnya, menata.

Masih ingat kata Ayu, teman baik saya yang kebetulan satu konsentrasi juga, sama-sama anak Ekonomi Regional, beliau kata “Opa, kita ni jangan pandainya menata tata ruang wilayah aja, tapi harus pandai juga menata hati”.  Sekarang? Saya harus meneliti tata ruang wilayah (re: skripsi) dan menata hati yang sama ‘crowded’ nya dengan kota-kota megapolitan sepertinya. Berat rasanya, serius. Saya yang masih merasa belum pantas menyelesaikan studi karena jujur, masih banyak belum paham terhadap bidang ilmu yang ditekuni, mau tak mau harus segera menyelesaikan studi. Kita belum puas tapi harus segera menuntaskan. Oh, bahkan bisa jadi saya belum ikhlas, Masya Allah. Jangan-jangan masih kekeuh hati ingin menimba ilmu di jurusan lain. Tapi sudahlah, toh saya juga dulu yang memilih ini walau dengan mata buta, dan pada akhirnya Tuhan merestui. Serius, kali ini saya ikhlas, malu rasanya sama banyak manusia lain yang tak pernah dapat kesempatan seperti saya, dikasih kesempatan malah tak sepenuh hati. Insya Allah saya ikhlas pada akhirnya kuliah disini, bahkan saya mencintai ilmu konsentrasi saya, karena saya cinta makanya saya masih tak puas mendalaminya. Tak ada kata puas dalam cinta, sepertinya.

Kembali lagi, perubahan. Saya sudah dewasa, sudah saatnya menata, menata yang tak apik, dengan perencanaan, perubahan, agar apik nantinya, agar terstruktur hidupnya.

Saya tau,  banyak pihak akhirnya merasa dirugikan, kaget, meminta penolakan. Saya pun sebenernya meminta penolakan, diri saya menolak diri saya sendiri. Perubahan yang saya rencanakan pun masih banyak yang saya langgar, dengan alibi masih muda, tapi saya sudah harus dewasa, dua-dua sudah usia, bukan lagi muda, harusnya. Saya tau kita semua sudah harus dewasa, bukan saya saja yang mungkin sedang menata.

Maafkan cara saya yang menata membuat pihak merasa kaget bahkan dirugikan. Saya yakin, kita sama-sama menata, mari sama-sama mendukung, bukan merasa saling meninggalkan atau ditinggalkan.

Entah apa yang saya tulis,
Pekanbaru hujan

Monday, 18 April 2016

Haloooooooo

Halo,
Masih dengan sapaan favorit saya, kata basi yang menurut saya paling hangat, Halo!
Udah lama ya gak nulis, gak ngabarin, pasti rindu? Ngihihihiik
Pun saya, rindu juga, rindu semuanya. Sama kota, sama air jernih di dalam bak mandi, hahahaa

jadi sekarang terimalah sapaan halo saya dari tepian sungai terdalam di negeri ini. saya sedang mendekam bahagia di sini. Bagaimana kan saya jelaskan ya?


Tiba-tiba saya kehilangan cara menulis, atau emang dari dulu gak punya ya? Hahahaa

Saya sudah sebulan tidak di kota tersayang saya itu, ini kali kedua. Pertama lebih jauh lagi dari kota ku itu, lebih rame karena berduabelas. Kali ini lebih dekat sih dari kota tersayang, terpangkas 2 jamlah dari tempat yang dulu, tapi kali ini saya cuma sendiri.. eeng berdua ding, tapi berdua untuk kerjaan profesional aja, kadang lebih sering ngerasa sendiri, seringnya mungkin saya yang suka menyendiri, jadi pendiam? Haha, siapa yang percaya? Entahlah

Gak tau tiba-tiba kok bisa ada di sini, entah darimana alur ini bisa terjadi dalam hidup saya. Seharusnya saya sekarang sedang berjibaku dengan skripsi, ngejar ujian compre di bulan juni, wisuda bulan oktober, sebelum usia jadi 22, tapi saya memang sulit sekali untuk mengatakan tidak untuk sebuah perjalanan.

Dan memang sulit sekali untuk tidak mengucuapkan syukur atas perjalanan ini. Jauh dari rumah dan manusia yang biasanya di sekeliling saya.

Impian saya. Saya pengen jauh dari kota saya, jauh dari keluarga dan orang-orang yang membuat saya nyaman, lebih egois lagi, saya pengen tidak berkomunikasi dengan siapapun yang saya tinggalkan itu, saya pengen ngilang, bukan untuk dicari, tapi untuk mencari, mencari saya sendiri, bukan untuk dirindukan, tapi untuk memahami makna rindu.

Sekali lagi saya katakan, sudah sebulan saya disini, rasanya, saya masih belum bisa menemukan siapa saya, atau mungkin lebih tepatnya saya masih ragu dengan siapa saya, saya masih belum bisa memahami makna rindu, jauh tak membuat kita mengerti ternyata, ingin rasanya saya pertahankan keegoisan saya untuk tidak berkabar, tapi.. yah.

Tapi.. yah, saya lagi gak mood meneritakan tentang saya disini, jadi cuma mau menyampaikan halo saja, halo yang kepanjangan ini, hehee. Semoga kita bisa memahami apa yang terjadi dalam hidup kita, menjadikan kita lebih bijaksana dan pandai bersyukur.

Selamat malam,
April 18, 2016, di malam yang masih terlalu malam,
 atau pagi yang terlalu pagi
Tepian sungai terdalam

Wednesday, 24 February 2016

Melawan ragu = Berani maju

Jika anda ragu, lebih baik kembali

Yang peka pasti tau ini kalimat 'siapa'. Udah dua kali kalimat ini nampar gue telak-banget. Pertama ya ketika berani-beraniin dengan matang buat menjadi 'siapa' itu dan kedua sekarang.

Pertama gue bertekad menjadi 'siapa' tersebut, dengan prasyarat yang, yaelah udah kadarluasalah istilahnya, banyak orang kontra dengan yang gue lakukan tersebut, termasuk gue, walau gak sepenuhnya gue kontra, masih ada sisi lain diri gue yang pro. Dua sisi itu akhirnya menghaislkan keraguan, padahal udah jelas diperingatkan kalau ragu lebih baik mundur. Walau pada akhirnya gue mundur juga, tapi bukan karena rasa keraguan itu, mgukur diri dengan bayang-bayang alias kegiatan gue yang gak memungkinkan buat meneruskan menjadi 'siapa' itu akhirnya gue mundur. Mundur karena mengikuti kegiatan yang akhirnya menghasilkan keraguan yang kedua.

Jika ragu, lebih baik mundur

Ini kalimat datang lagi, gue ragu lagi dengan pilihan gue. Ah, banyakan ragu ni. Kalau kemaren gue berani-beraniin buat menjadi 'siapa' itu, sekarang gue bertanya berani-beraninya gue buat ikut ini kegiatan. 

Ragu-ragu lagi. 

Kalau ragu kapan maju?

Gue ikuti aja dulu ini kegiatan, pengen tau sampai mana ragu-ragu itu ngalahin gue. Dan Alhamdulillah sekrang gue berhasil ngalahin itu 'ragu-ragu'. Sekarang dengan hati yang mantap dan jiwa yang berani tanpa tanya gue siap buat segala konsekuensi yang bakal gue dapat. 

Manusia yang meragu untuk kebaikan takkan pernah maju.

Gak nyambung sih ini kutipan yang gue dapat pas searching buat kegiatan gue, tapi kalimat ini bener yang menghapus tuntas keraguan gue itu, serius.

"Berani untuk hutan bukan hanya sekedar slogan gagah-gagahan"


Saturday, 13 February 2016

Dalam masalah

Pernah sewaktu waktu teman saya yang dalam masalah saya nasehati, kira-kira begini:

“Sebenarnya masalah kamu itu masalah kecil saja, kenapa kamu begitu sedih dan sekecewa itu? Pun kamu masih punya banyak orang yang mensupport kamu, dan kamu masih punya banyak cara sebenarnya untuk mengatasi masalah kamu itu.
Kita ini kalau adalam masalah sering kali menganggap masalah kita itu besar sekali, padahal hanya masalah kecil saja sebenarnya, orang lain bahkan punya masalah yang sangat besar dari kita”.

Teman saya itu bukanlah orang bodoh, dia hanya sedang terlarut dalam masalah kecill nya itu, saat saya nasehati tadi, ia menjawab

“Iya, tau ana (anggap saja dia memanggil namanya ana) tapi kalau lagi masalah kaya gini, gak peduli ana do dengan masalah orang lain yang mungkin lebih besar, kalau ada orang yang masalahnya cerai yaudah, cerai aja, terus cari aja lagi yang baru. Susah kali. ”

Itu jawaban teman saya, yang pasti mengejutkan saya. Saya yakin dia sedang tidak serius dengan responnya tersebut, paling itu statemen emosinya saja. Tapi lihatlah begitu hilangnya jadi diri seseorang jika sedang emosi dengan masalahnya. Emosi marah, sedih yang berlarut-larut atau tepatnya dibuat-buat oleh hati dan pikirannya.

Tapi apa yang dikatakan teman saya tadi kurang lebih betul adanya. Disaat saya menasehati dia dengan nasehat di atas saya sedang tidak dalam masalah, atau setidaknya tidak ingat punya masalah. Tapi ketika saya sedang dalam masalah, masalah ringan saja, saya pun menjawab kurang lebih seperti apa yang dikatakn teman saya itu.

Masalah proposal. Seolah saya saja yang mahasiswa yang punya masalah dengan proposalnya. Padahal banyak lagi mahasiswa yang bahkan lebih parah masalahnya, misal; pasti ada seorang mahasiswa tingkat akhir yang menunggu DO jika proposalnya tidak diterima. Tapi respon saya saat itu malah

“Ah, itu salah dia ngapa gak dari awal ngerjain, ngapa dia lalai!”

Padahal dalam akal sehat saya, bisa saja saya berpikir bahwa mahasiswa yang dalam keadaan seperti itu bisa saja dia membereskan masalah genting lainnya dulu, mencari nafkah untuk keluarga misalnya, hingga lalai tugasnya sebagai mahasiswa hingga dia terjerat masalah.

Betapa bahayanya orang yang dalam masalah. Yang ia fokuskan hanya masalahnya saja. Egoisnya dominan sekali jadinya. Lalu apa yang bisa diperbuat jika seperti itu?

Mengingat dan diingatkan.

Mengingat kita punya Tuhan, Allah SWT, tempat mengadu dan meminta pertolongan.
Seperti dalam QS. An-Naml ayat 62, yang artinya:

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”

Mengingat bahwa masalah yang sedang kita hadapai itu, jika dihitung-hitung belum ada apa-apanya lagi dengan apa yang kita punya. Masalah proposal, betapa sepelenya bukan? Padahal masih banyak orang yang tidak punya kesempatan melanjutkan peguruaan tinggi. Yang tidak bersekolah saja masih banyak.

Dan Diingatkan

Orang yang terlaru larut dalam masalahnya sulit menggunakan akal dan hatinya. Menjadi manusia egois yang sering larut dengan masalahnya sendiri. Disini, berterimakasihlah kepada orang yang mengingatkan kamu, entah mengingatkan betapa ‘bodohnya’ kamu berlarut dalam masalah tersebut, mengingatkan kamu bahwa mereka ada untuk menolong kamu dalam masalah mu dan mengingatkan kamu bahwa masalah itu bisa dilalui, seperti hujan yang pasti reda atau badai pasti berlalu. Yang mengingatkan bisa saja bukan orang. Melainkan benda, entah itu rangkaian kata dalam nada yang tak sengaja didengar, atau aktivitas manusia lain yang ‘menampar’ mu, maka dari itu jika dalam masalah, janganlah-hindarilah berdiam pada suatu tempat, menyendiri. Pergilah keluar, dan lihat betapa kecilnya masalah kita atau banyaknya solusi untuk masalah yang sedang kita hadapi.

Seperti kemaren.
Saya dan teman saya tersebut keluar rumah mencari pisang coklat keju yang hangat di pinggir jalan yang ramai. Sambil ia membaca buku La Tahzan yang menamparnya untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, karena setan suka manusia yang tenggelam dalam kesedihannya.


written: 01022016