Biru.
Bagiku warna selalu biru.
Ya, seperti Tegar yang selalu mengatakan,
baginya hari selalu pagi.
Seperti itulah. Bagiku warna selalu biru.
Bukan berarti aku buta warna, tidak. Aku
masih mengenali lampu charge baterai laptopku, bewanarna orange.
Sama seperti tegar, yang merasakan
semangat baru di pagi
Aku pun begitu, merasakan mantra
menenangkan pada biru.
Biru itu selalu ada, seperti langit yang
selalu ada, meski disini langit sering disembunyikan oleh kabut, kabut asap.
Biru itu juga selalu terdengar, seperti suara deburan ombak di birunya laut,
padahal disini, dikotaku tidak ada laut, tapi setidaknya aku pernah melihat
birunya laut, mendengar suara biru laut.
Biru itu juga selalu menenangkan
–menyegarkan, seperti rumput yang sering kupijak di kampusku, yang sering
dipangkas hingga mengeluarkan aroma yang menyegarkan –wangi rumput yang baru
dipotong. Iya aku tau, rumput itu bewarna hijau, sudah kukatakan aku tidak buta
warna bukan? Tapi aku ini keras kepala, bagiku warna selalu biru. Tidak masuk
diakal. Peduli apa aku, toh ini ba-gi-ku.
Biru itu selalu menerimaku, menemaniku,
memerdekakanku, ya itu yang dirasakan ketika aku melihat langit, biru. Kau tau,
menurut ku aku dan langit punya radar seperti kugy dan keenan. Radar yang bisa
membuat langit mengetahui apa yang kupikirkan, kurasakan. Iya, seperti mengadu
pada langit, lalu langit akan memberikan respon menenangkan-ku, lalu seolah
memerdekakanku dari berbagai hal yang sulit dideskripsikan.
Cinta? Merah jambu?
Kebanyakan orang melambangkan cinta dengan
warna merah jambu. Namun bagiku, biru adalah warna cinta. Kau tau kenapa biru?
Itu panjang ceritanya.
Bagiku, biru adalah bagian vital dari
kehidupan. Sama seperti urat nadi yang biru, yang bersembunyi dibalik kulit
kecoklatanku.
Untuk biru, Terima kasih wahai Sang Maha
Pencipta.