Terakhir kali aku bertemu denganmu, tepat 7 hari sebelum
hariku. Ah, kau merusak bulan favoritku. Bulan hujan itu, bulan ceriaku
sekarang punya sejarah pilu. Sekarang 141 hari telah berlalu, dan hari-hari itu
berjalan fluktuatif. Terkadang aku begitu mengingatmu, terkadang aku bahkan
lupa mengingatmu. Jika sedang mengingat, kau pun mampu membuat diriku
berfluktuasi, kadang begitu pilu dan begitu bodoh dan begitu marah dan begitu
tertawa, Haha.
Tidak, aku hanya merindukan saja.
Tidak pernah lebih. Kalaupun pernah, aku pun pernah mencoba
agar sampai tidak pernah lebih daripada itu. Dan berhasil.
Aku menikmati seperti menjadi mainanmu, seperti anak
sekolahan ingusan yang baru mengenal dunia kenal-mengenal pria. Aku mengingat
kebodohan itu dan tertawa. Kau bersikap seolah aku terlalu abu-abu, dan kita
tertawai kebodohanku. Dan aku menertawai keberpura-puraan bodohku padamu.
Tak ada, aku hanya mengingatmu di malam yang terlalu malam
ini atau pagi yang terlalu pagi ini. Pukul 00 :34 sekarang. Tak ada yang terjadi pada kita, hanya mungkin aku memang
seperti anak ingusan dihadapanmu. Hanya terdiam –kau hanya belum tau betapa tak
bisa diamnya aku.
Akhir-akhir ini aku sering membaca prosa-prosa yang entah
mengapa jika aku membacanya, maka yang teringat adalah engkau.
Apa kabar rindu?
Suatu hari, kita hanya diam. Sama-sama bungkam. Diantara kita tidak ada
dendam. Namun jauh dibalik hatiku, ada duka bersemayam. Wajahmu yang biasanya
punya ekspresi beragam kini hanya muram. Dan selalu muram.
Kita kadang masih melempar senyum. Tapi tak seikhlas dulu. Tak setulus
waktu itu. Waktu kita tak hanya diam. Waktu kita menghabiskan waktu untuk
saling bercerita. Waktu kita sering berdiri di lantai yang sama. Waktu kita
obati duka dengan canda.
Rindu aku, dengan ekspresi wajah yang tak terpaksa.
Dengan senyum yang tak menyiksa.
Dan cerita yang murni, tanpa perisa.
–Ja(t)uh hal. 53
Kabar
Kelak disuatu senja kita akan berjumpa
Bola mata kita saling lekat menatap
Tanpa ada satu kata pun terucap
Kelak di suatu waktu kita akan bertemu
Aku masih ingat siapa namamu
Begitu juga kau mengenalku
Tapi mulut kita sama membisu
Kita mencipta kebekuan
Yang dulu sempat cair hanya dengan kata: 'Hai'
Atau, 'Apa kabar'
...................
Apa kabar?
–Ja(t)uh hal. 128