Menganggu, semuanya menggangu. Perkataanmu, kebijakan engkau, tindakan para bedebah, pikirannya, hinaan si bang bangsat. Memuakkan semuanya. Atau saya yang lebih memuakkan?
Antara malu dan muak. Atas dasar apa kau merendahkan seseorang karena jabatannya? Atas dasar apa kau meremehkan seseorang karena pekerjaannya? Apa kau telah berubah menjadi bangsat?. Saya malu karena kau orang yang sudah kuanggap abang sendiri, tak peduli kau anggap aku apa, hanya junior yang tak mau nurut. Malu, ternyata pikiran kau sekecil itu, sehina itu. Tak kusangka pemikiran kau layaknya pemikiran seorang bedebah. Asal kau tau, tentu begitu mudah bagiku, untuk mendapatkan sebuah jabatan yang menurut kau akan ada apa-apanya karena jabatan ku sekarang tak ada apa-apanya, sudah ada tawaran, tentu kau tau tawaran itu. Tapi bukan itu yang ku kejar, bukan jabatan, aku bukan sedang membangun jejak politik. Bukan jabatan yang kuperlu, bukan jabatan yang ku kejar agar manis track record ku nanti. Lebih dari itu, sebuah pelajaran, sebuah kehangatan kekeluargaan, kebebebasan melihat dari sudut pandang mana saja dan lebih dari itu sebuah tanggung jawab. Sampai sekarang ingin sekali ku bentak kau, menyuruh kau agar menghina semua babu yang ada didunia ini, lalu melihat kau memuja orang yang tinggi jabatannya, kau puji sajalah -contohnya Presiden, lalu kau hina tukang sapu dipinggir jalan atau pemulung yang bajunya tak berganti-ganti. Akankah kau lakukan itu? Hinalah staff ini lagi, bangsat.
Andai orang lain yang berkata seperti ini tentu saja aku akan maklumi, banyak orang yang tak tau apa-apa karena mungkin setiap bertanya jawaban yang didapatnya hanya kau tak tau apa-apa, andai orang-orang seperti itu yang tak tau apa-apa –dan tak mau tau apa-apa– itu yang berkata indak den pikian do, tapi sekali lagi, ini sungguh kau bang yang berkata, hasil dari berdebat karena bedanya sudut pandang kita terhadap kebijakan pemerintah menaikan BBM.
Bagiku kebijakannya tepat, betapa banyak brengsek yang mendapatkan kembali -bahkan lebih- pajak yang mereka bayarkan hanya dari subsidi bahan bakar untuk mobil mewah mereka. Aku tau yang kau pikirkan domino effect kebijakan ini terhadap rakyat tak mampu, pemerintah menawarkan solusi blablablaa seperangkat kartu sakti, bagiku tugas kita adalah mengawasi alokasinya, awasi seberapa efektif kartu-kartu itu, awasi pemerintah boneka kita itu, karena bagiku kebijakannya sudah tepat, haruskah kita turunkan pemimpin karena kebijakannya benar? Menurut ku tidak, kecuali kebijakannya benar, tapi implementasinya salah. Sekarang apa sudah ada bukti implementasinya salah? Kita awasi jangan sampai itu terjadi. Tapi yang kau kata? Aku sok pro? Tempe saja aku masih nawar. Cukup sudah, aku tak tau apakah bisa lebih rendah lagi penilaianku terhadap kau, tapi menurutku sudah tidak bisa, itu peniaian terendah yang pernah kuberikan pada orang.
Lain lagi, saya tak suka ucapan beliau. Setidaknya kita harus turun, kita harus aksi, kita kan mahasiswa, kalau ngurus surat atau kepanitian anak SMA juga bisa. Sekecil itukah pikirannya? Atau pikiran saya salah?. Kita aksi karena kita mahasiswa. Kita harus aksi. Haha.
Bagi saya jikalau saya harus aksi, saya tentu harus tau apa yang saya aksi-kan? Apa dasarnya? Apa tidak ada cara lain? Saya paham permasalahannya. BUKAN HANYA KARENA IKUT-IKUTAN, BUKAN HANYA BERGERAK DENGAN PEMIKIRAN KOSONG. Itu artinya, jikalau saya ingin ikut aksi, saya harus tau persoalannya, dasarnya. Bagaimana seperti aksi sebelumnya, apakah saya harus ikut aksi ketika saya setuju? Bukankah saya hanya menjadi seorang munafik disana?
Boi, bagi saya, saya masih ingin mencari jalan lain, untuk membangun negeri ini. Bukan berarti aksi itu salah. Saya setuju, apalagi aksi yang damai –tapi lucunya sekarang aparat kemananlah yang membuat sebuah gerakan aksi menjadi tidak damai, keparat bukan?– aksi yang tujuannya untuk kesejahteraan rakyat, untuk negeri ini menjadi lebih baik. Tak peduli saya telah menjadi mahasiswi, lalu setidaknya saya harus ikut sebuah aksi atas dasar karena mahasiswa itu adalah agent of change?. Selama saya tidak mengerti persoalan dan dasarnya, bertentangan dengan pemikiran saya, berlawanan dengan waktu kewajiban saya yang lain, saya tak akan turun aksi. Bagi saya agent of change itu luas, aksi bukan satu-satunya jalan menjadi agen perubahan untuk bangsa ini. Kuliah yang benar, memahami materi kuliah, mengimplementasinya dengan benar, berbakti pada orang tua, mengabdi pada negara dalam bentuk banyak hal, bahkan menjadi bagian dari kepanitian itu bisa menjadi beberapa jalan untuk menjadi agen perubahan. Asal tau, saat SMP saya sudah demo, walau untuk mengambil nilai pelajaran PPKn tapi itu saya laksanakan dengan baik. Jadi, lepaskan doktrin bahwa karena kita mahasiswa kita harus turun aksi, walau sekali, itu SALAH.
Menjadi Agent of Change lebih luas dari itu. Malah ketika ribut-ribut akan masalah ini, masalah itu, menomor dua-kan tanggung jawab utama kita kenapa kita jadi mahasiswa itu yang salah. Tak saya katakan bahwa kita harus jadi apatis, kita wajib peduli, karena siapa lagi yang kan peduli ikhlas pada negeri ini kalau bukan pemudah negeri ini sendiri? Rakyat hanya peduli ketika kepentingan mereka mulai diganggu, rakyat negara lain peduli hanya karena ingin menguasai negeri ini. Jadi memang kita pemuda negeri inilah yang bisa peduli pada negeri ini secara tulus, ikhlas. Tapi bagaimana kita bisa peduli dengan negeri ini kalau kita tidak peduli dengan diri kita?.
Bagaimana menjadi Agent of Change? Masih banyak carakan? Tak harus demo-kan? Demo tak salah, tapi bukan satu-satunya cara.
Sudahi dulu, saya masih terbingung dan terkagum dengan novel Persiden – Wisran Hadi dan ingin menikmati alunan radio malam ini, penyiar favorit saya saat ini yang sedang siaran. Semoga ia mau menemani saya sampai selesai saya membuat sebuah tugas kuliah
Salam 21:32 pada sabtu malam tanggal 29 November 2014
Tetap, semangat yo!