Tuesday, 9 November 2021

menjadi orang tua, untuk anak dalam diri

Di dalam diri kita, ada karakter orang tua dan anak. Kita yang menginginkan yang terbaik untuk diri kita adaah orang tu dan kita yang tidak bisa mengontrol diri kita adalah anak.

Barangkali, sebelum menjadi orang tua yang baik bagi anak dari keturunan kita dan pasangan, ada baiknya kita berusaha menjadi orang tua yang terbaik untuk anak dalam diri kita.

Sunday, 18 December 2016

Kepada, Pembaca/Pembohong

Suatu waktu pernah kamu katakan bahwa tulisan ku bagus.
Ku katakan padamu: kau bukan pembaca yang baik atau harus ku katakan bahwa kamu adalah pembohong yang baik

Sebab jika tulisan ku memang bagus maka seharusnya kamu tau tulisan ini selalu tertuju pada satu kamu

Sunday, 11 December 2016

Ilusi

Jika kau ingin tau bagaimana hidup dalam ilusi, maka duduklah dihadapanku. Sebentar, kan kuhidangkan dulu segelas teh hangat untukmu, kan ku hidangkan juga camilan diatas meja bundar yang nantinya akan memberi jarak pada kursi ku dan kursi mu. Padamkan dulu segala gadget mu itu. Ku persilahkan kamu untuk menikmati barangkali seteguk atau tiga teguk teh yang telah terhidang, setelah kau buka penutup gelasnya, melambunglah selayang uap-uap putih, hirup dulu baik-baik aromanya, sebagian orang bilang baunya menentramkan, pelan, biarkan bibir gelasnya bertemu dengan bibir mu, hingga cairan itu merasuki kerongkonganmu, memberi kehangatan dalam dada mu, meninggalkan rasa manis di lidah mu. 

Teh itu ku sediakan sebagai jeda, untuk duduk dihadapanmu aku harus mengatur dulu detak jantung yang merinding, mengontrol suhu tangan yang mendingin, dan mata yang malu tapi ingin. Meyusun kata untuk bercerita dengan mu taklah semudah mengatur tatanan di meja rotan ini, taplak meja rajut bewarna broken white itu sebelumnya sudah ditimpa dengan setangkai mawar biru dalam vas bening ditengah diamternya, lalu ku sudutkan sedikit letaknya, agar yang menjadi titik tengah antara kita adalah setoples camilan yang sebenarnya tak ada artinya, dan bagian meja yang dekat dengan mu ku letakkan gelas ceper dengan piring kecil dibawahnya, yang sekarang isinya sudah berkurang. Duduk dihadapan mu dan menceritakan ilusi ini pun tak semudah mengatur tata ruang wilayah yang sedang coba ku garap menjadi skripsi. 

Maka semakin lamalah jeda diantara kita, mulut mu mulai berontak ingin berkata, tapi suasana kikuk mulai kamu rasakan, maka tak lagi mulut mu ingin berontak, tapi jiwa mu kali ini. Tidak, tak ku masukan serbuk yang memberi efek kaku pada lidah di minuman mu tadi. Kamulah yang memantrai aku hingga aku terdiam dan membuat mu serba salah hingga menyesal mau saja menerima ajakan ku untuk duduk.  

Dan jika bisa kita mengukur, maka rasa penyesalan ku yang akan lebih tinggi dari rasa penyesalan mu kali ini. Mau saja untuk mengajak mu duduk dihadapan ku, dan beraninya menjanjikan sebuah cerita tentang ilusi kepada orang yang membuat ilusi itu ada.

Dan akhirnya kita hanya diam. Aku yang nyatanya tak sanggup menceritakan ilusi dan kamu yang tak mau sanggup tahu bahwa kamu adalah ilusi itu. Maka sekarang ilusi itu sendirilah yang menvceritakan dirinya, lama, hingga mawar biru itu pun akhirnya melayu.

Sunday, 27 November 2016

Ekspresi: Emoticon smile yang ada sebuah bulir keringat di dahi

Rasanya tiba-tiba saya butuh pacar, ahahahahahahahaha. Parah.
Beginilah efek ketika seharusnya kamu tidak melakukan tindakan yang akan mengganggu keamanan, seperti, stalking.
Tetapi sudah semacam komando hati untuk melihat halamannya, jadi saya bacalah tulisan-tulisannya.
Dan rasanya lucu, lucu rada miris, hahaa.
Tak mungkin saya jelaskan disini, bisa jadi dia tau kalau saya menstalkingnya. Waaaah, wah, mau didiskon berapa harga diri saya jadinya, wqwq

Tetapi jika membayangkan dan mengira-ngira kembali, kalimat pertama saya itu benar juga. Entah kenapa pula mereka begitu manis, efeknya ya tadi, buat saya miris

Huaaaaa, serius mereka manis sekali, kan saya jadi,
jadi, begini, wqwq

Pekanbaru,
waktu harusnya ngejain revisi

Friday, 18 November 2016

Not sure, but 'utarakan'

Halo, sudah lama tidak menulis. Halaaah, kaya dulu sering aja nulis. -__-
Sebenarnya saya sudah tidak mau lagi menulis, apalagi nulis curhatan diblog. Rada malu, rada gengsi dan sudah muak. Efek terlalu mendalami dan berujung gagal paham pada cerpennya sga kali, sepotong senja untuk pacarku. Tetapi kehidupan saya, yang saya gagal pahami  belakangan ini pun yang akhirnya membuat saya curhat lagi. Sedikit inti: gagal paham itu baik juga, gagal bersembunyi yang tidak, sepertinya.

Saya akhirnya ‘mungkin’ memaafkan diri saya, diri saya yang akhir-akhir ini. Yang pemalas, yang gak tau tujuan, yang bimbang perasaannya, yang banyak gak ngertinya, yang tidak teratur, tidak disiplin, tidak paham, tidak konsisten, tidak serius, tidak stabil, tidak adil, tidak baik, tidak untuk ditiru. Saya maafkan, mati-matian ngakuin ke diri sendiri bahwa kamu itu ternyata ‘tidak-tidak’ saja. Bukan hal mudah, memaafkan orang saja saya sulit, apalagi memafkan diri sendri.

Dan akhirnya beberapa waktu lalu saya putuskan untuk berubah. Mengubah aturan waktu, batasan sosialisasi, batasan ngomong, batasan bahan bacaan dan pengubah dan batasan lainnya yang saya tetapkan. Tak ada yang mudah dalam sebuah perubahan, apalagi perubahan karena kesalahan sendiri. Proses mau berubah pun harus saya jalani bersamaan dengan proses memaafkan diri yang sampai sekarang masih terasa sulit sekali.

Tapi saya masih muda, masih banyak melanggarnya, tapi saya sudah harus dewasa, sudah saatnya, menata.

Masih ingat kata Ayu, teman baik saya yang kebetulan satu konsentrasi juga, sama-sama anak Ekonomi Regional, beliau kata “Opa, kita ni jangan pandainya menata tata ruang wilayah aja, tapi harus pandai juga menata hati”.  Sekarang? Saya harus meneliti tata ruang wilayah (re: skripsi) dan menata hati yang sama ‘crowded’ nya dengan kota-kota megapolitan sepertinya. Berat rasanya, serius. Saya yang masih merasa belum pantas menyelesaikan studi karena jujur, masih banyak belum paham terhadap bidang ilmu yang ditekuni, mau tak mau harus segera menyelesaikan studi. Kita belum puas tapi harus segera menuntaskan. Oh, bahkan bisa jadi saya belum ikhlas, Masya Allah. Jangan-jangan masih kekeuh hati ingin menimba ilmu di jurusan lain. Tapi sudahlah, toh saya juga dulu yang memilih ini walau dengan mata buta, dan pada akhirnya Tuhan merestui. Serius, kali ini saya ikhlas, malu rasanya sama banyak manusia lain yang tak pernah dapat kesempatan seperti saya, dikasih kesempatan malah tak sepenuh hati. Insya Allah saya ikhlas pada akhirnya kuliah disini, bahkan saya mencintai ilmu konsentrasi saya, karena saya cinta makanya saya masih tak puas mendalaminya. Tak ada kata puas dalam cinta, sepertinya.

Kembali lagi, perubahan. Saya sudah dewasa, sudah saatnya menata, menata yang tak apik, dengan perencanaan, perubahan, agar apik nantinya, agar terstruktur hidupnya.

Saya tau,  banyak pihak akhirnya merasa dirugikan, kaget, meminta penolakan. Saya pun sebenernya meminta penolakan, diri saya menolak diri saya sendiri. Perubahan yang saya rencanakan pun masih banyak yang saya langgar, dengan alibi masih muda, tapi saya sudah harus dewasa, dua-dua sudah usia, bukan lagi muda, harusnya. Saya tau kita semua sudah harus dewasa, bukan saya saja yang mungkin sedang menata.

Maafkan cara saya yang menata membuat pihak merasa kaget bahkan dirugikan. Saya yakin, kita sama-sama menata, mari sama-sama mendukung, bukan merasa saling meninggalkan atau ditinggalkan.

Entah apa yang saya tulis,
Pekanbaru hujan