Halo, sudah lama tidak menulis. Halaaah, kaya dulu sering aja nulis.
-__-
Sebenarnya saya sudah tidak mau lagi menulis, apalagi nulis curhatan
diblog. Rada malu, rada gengsi dan sudah muak. Efek terlalu mendalami dan
berujung gagal paham pada cerpennya sga kali, sepotong senja untuk pacarku.
Tetapi kehidupan saya, yang saya gagal pahami
belakangan ini pun yang akhirnya membuat saya curhat lagi. Sedikit inti:
gagal paham itu baik juga, gagal bersembunyi yang tidak, sepertinya.
Saya akhirnya ‘mungkin’ memaafkan diri saya, diri saya yang
akhir-akhir ini. Yang pemalas, yang gak tau tujuan, yang bimbang perasaannya,
yang banyak gak ngertinya, yang tidak teratur, tidak disiplin, tidak paham,
tidak konsisten, tidak serius, tidak stabil, tidak adil, tidak baik, tidak
untuk ditiru. Saya maafkan, mati-matian ngakuin ke diri sendiri bahwa kamu itu
ternyata ‘tidak-tidak’ saja. Bukan hal mudah, memaafkan orang saja saya sulit,
apalagi memafkan diri sendri.
Dan akhirnya beberapa waktu lalu saya putuskan untuk berubah. Mengubah
aturan waktu, batasan sosialisasi, batasan ngomong, batasan bahan bacaan dan
pengubah dan batasan lainnya yang saya tetapkan. Tak ada yang mudah dalam
sebuah perubahan, apalagi perubahan karena kesalahan sendiri. Proses mau
berubah pun harus saya jalani bersamaan dengan proses memaafkan diri yang
sampai sekarang masih terasa sulit sekali.
Tapi saya masih muda, masih banyak melanggarnya, tapi saya sudah harus
dewasa, sudah saatnya, menata.
Masih ingat kata Ayu, teman baik saya yang kebetulan satu konsentrasi
juga, sama-sama anak Ekonomi Regional, beliau kata “Opa, kita ni jangan pandainya menata tata ruang wilayah aja, tapi harus
pandai juga menata hati”. Sekarang? Saya
harus meneliti tata ruang wilayah (re: skripsi) dan menata hati yang sama ‘crowded’ nya dengan kota-kota
megapolitan sepertinya. Berat rasanya, serius. Saya yang masih merasa belum
pantas menyelesaikan studi karena jujur, masih banyak belum paham terhadap
bidang ilmu yang ditekuni, mau tak mau harus segera menyelesaikan studi. Kita belum
puas tapi harus segera menuntaskan. Oh, bahkan bisa jadi saya belum ikhlas,
Masya Allah. Jangan-jangan masih kekeuh hati ingin menimba ilmu di jurusan lain.
Tapi sudahlah, toh saya juga dulu yang memilih ini walau dengan mata buta, dan
pada akhirnya Tuhan merestui. Serius, kali ini saya ikhlas, malu rasanya sama
banyak manusia lain yang tak pernah dapat kesempatan seperti saya, dikasih
kesempatan malah tak sepenuh hati. Insya Allah saya ikhlas pada akhirnya kuliah
disini, bahkan saya mencintai ilmu konsentrasi saya, karena saya cinta makanya
saya masih tak puas mendalaminya. Tak ada kata puas dalam cinta, sepertinya.
Kembali lagi, perubahan. Saya sudah dewasa, sudah saatnya menata,
menata yang tak apik, dengan perencanaan, perubahan, agar apik nantinya, agar
terstruktur hidupnya.
Saya tau, banyak pihak akhirnya
merasa dirugikan, kaget, meminta penolakan. Saya pun sebenernya meminta
penolakan, diri saya menolak diri saya sendiri. Perubahan yang saya rencanakan
pun masih banyak yang saya langgar, dengan alibi masih muda, tapi saya sudah
harus dewasa, dua-dua sudah usia, bukan lagi muda, harusnya. Saya tau kita
semua sudah harus dewasa, bukan saya saja yang mungkin sedang menata.
Maafkan cara saya yang menata membuat pihak merasa kaget bahkan
dirugikan. Saya yakin, kita sama-sama menata, mari sama-sama mendukung, bukan
merasa saling meninggalkan atau ditinggalkan.
Entah apa yang saya tulis,
Pekanbaru hujan