Saturday 13 February 2016

Dalam masalah

Pernah sewaktu waktu teman saya yang dalam masalah saya nasehati, kira-kira begini:

“Sebenarnya masalah kamu itu masalah kecil saja, kenapa kamu begitu sedih dan sekecewa itu? Pun kamu masih punya banyak orang yang mensupport kamu, dan kamu masih punya banyak cara sebenarnya untuk mengatasi masalah kamu itu.
Kita ini kalau adalam masalah sering kali menganggap masalah kita itu besar sekali, padahal hanya masalah kecil saja sebenarnya, orang lain bahkan punya masalah yang sangat besar dari kita”.

Teman saya itu bukanlah orang bodoh, dia hanya sedang terlarut dalam masalah kecill nya itu, saat saya nasehati tadi, ia menjawab

“Iya, tau ana (anggap saja dia memanggil namanya ana) tapi kalau lagi masalah kaya gini, gak peduli ana do dengan masalah orang lain yang mungkin lebih besar, kalau ada orang yang masalahnya cerai yaudah, cerai aja, terus cari aja lagi yang baru. Susah kali. ”

Itu jawaban teman saya, yang pasti mengejutkan saya. Saya yakin dia sedang tidak serius dengan responnya tersebut, paling itu statemen emosinya saja. Tapi lihatlah begitu hilangnya jadi diri seseorang jika sedang emosi dengan masalahnya. Emosi marah, sedih yang berlarut-larut atau tepatnya dibuat-buat oleh hati dan pikirannya.

Tapi apa yang dikatakan teman saya tadi kurang lebih betul adanya. Disaat saya menasehati dia dengan nasehat di atas saya sedang tidak dalam masalah, atau setidaknya tidak ingat punya masalah. Tapi ketika saya sedang dalam masalah, masalah ringan saja, saya pun menjawab kurang lebih seperti apa yang dikatakn teman saya itu.

Masalah proposal. Seolah saya saja yang mahasiswa yang punya masalah dengan proposalnya. Padahal banyak lagi mahasiswa yang bahkan lebih parah masalahnya, misal; pasti ada seorang mahasiswa tingkat akhir yang menunggu DO jika proposalnya tidak diterima. Tapi respon saya saat itu malah

“Ah, itu salah dia ngapa gak dari awal ngerjain, ngapa dia lalai!”

Padahal dalam akal sehat saya, bisa saja saya berpikir bahwa mahasiswa yang dalam keadaan seperti itu bisa saja dia membereskan masalah genting lainnya dulu, mencari nafkah untuk keluarga misalnya, hingga lalai tugasnya sebagai mahasiswa hingga dia terjerat masalah.

Betapa bahayanya orang yang dalam masalah. Yang ia fokuskan hanya masalahnya saja. Egoisnya dominan sekali jadinya. Lalu apa yang bisa diperbuat jika seperti itu?

Mengingat dan diingatkan.

Mengingat kita punya Tuhan, Allah SWT, tempat mengadu dan meminta pertolongan.
Seperti dalam QS. An-Naml ayat 62, yang artinya:

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”

Mengingat bahwa masalah yang sedang kita hadapai itu, jika dihitung-hitung belum ada apa-apanya lagi dengan apa yang kita punya. Masalah proposal, betapa sepelenya bukan? Padahal masih banyak orang yang tidak punya kesempatan melanjutkan peguruaan tinggi. Yang tidak bersekolah saja masih banyak.

Dan Diingatkan

Orang yang terlaru larut dalam masalahnya sulit menggunakan akal dan hatinya. Menjadi manusia egois yang sering larut dengan masalahnya sendiri. Disini, berterimakasihlah kepada orang yang mengingatkan kamu, entah mengingatkan betapa ‘bodohnya’ kamu berlarut dalam masalah tersebut, mengingatkan kamu bahwa mereka ada untuk menolong kamu dalam masalah mu dan mengingatkan kamu bahwa masalah itu bisa dilalui, seperti hujan yang pasti reda atau badai pasti berlalu. Yang mengingatkan bisa saja bukan orang. Melainkan benda, entah itu rangkaian kata dalam nada yang tak sengaja didengar, atau aktivitas manusia lain yang ‘menampar’ mu, maka dari itu jika dalam masalah, janganlah-hindarilah berdiam pada suatu tempat, menyendiri. Pergilah keluar, dan lihat betapa kecilnya masalah kita atau banyaknya solusi untuk masalah yang sedang kita hadapi.

Seperti kemaren.
Saya dan teman saya tersebut keluar rumah mencari pisang coklat keju yang hangat di pinggir jalan yang ramai. Sambil ia membaca buku La Tahzan yang menamparnya untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan, karena setan suka manusia yang tenggelam dalam kesedihannya.


written: 01022016